Pernyataan Sikap Sanggar Hijau Indonesia Atas Kegiatan Seremonial Massal Tidak Edukatif Pada Perayaan Hari Bumi 2025 Yang Diadakan Oleh Pemkab dan Kemenag Jombang
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Q.S ar Ruum: 41)
“Saudara perempuan kita kini sedang menangis karena bahaya yang sudah kita sebabkan dideritanya oleh karena pemanfaatan yang tak bertanggung jawab dan penyalahgunaan atas benda-benda yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya,” penggalan pembuka Paus Fransiskus dalam suratnya yang berjudul Laudato Si yang menyerukan untuk peduli terhadap rumah kita bersama.
Sebagai kota santri berjuta kali mengkhatamkan ayat ini. Ayat-ayat kauniyah kerap dipahami terpisah, pasalnya gerakan agama dan gerakan lingkungan hampir-hampir berdiri sendiri-sendiri. Pada peringatan hari bumi tahun ini Kementerian Agama Republik Indonesia membuat gerakan penanaman satu juta pohon di seluruh Indonesia. Sebelumnya, Jum’at 18 April 2025 Kemenag mengeluarkan imbauan khutbah Jum’at bertema lingkungan. Hal ini menunjukkan langkah yang baik dimana agama dapat menjadi medium gerakan maupun gagasan kritis isu-isu lingkungan.
YouGov Indonesia dan Tenggara Strategics terlibat dalam riset Purpose selama Agustus-September 2024 tentang pandangan umat Islam merespon krisis iklim. Survey kuantitatif ini melibatkan 3000 muslim dan hampir 100 pimpinan Islam. Hasil riset menunjukkan bahwa isu lingkungan tidak menjadi prioritas, sementara pihak yang paling dipercaya untuk menyampaikan pesan iklim di kalangan muslim Indonesia adalah pemuka agama. (Project Multatuli, 2025)
Dalam ajaran Katolik Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si 2015, mengutip situs Katolikana bahwa “Laudato Si paragraf 101, Paus Fransiskus membuat pernyataan tegas bahwa hampir tidak ada gunanya menggambarkan gejala-gejala krisis ekologis tanpa mengakui akarnya dalam manusia. Jika akar masalahnya adalah manusia, maka kunci solusinya juga manusia. Paus Fransiskus mau mengajak seluruh orang yang berkehendak baik untuk bersama-sama merawat lingkungan hidup sebagai rumah kita bersama”.
Selang satu hari kematian Paus Fransiskus 21 April kemaren, duka wafatnya masih terasa, seruan menjaga lingkungan lamat-lamat pergi. Jajaran pemerintah Kabupaten Jombang bersama Kemenag (22/4/2025) merayakan gegap gempita aksi menanam namun disaat bersamaan melakukan aksi menerbangkan balon dan menebar konfetti (potongan-potongan plastik). Ini menjadi paradoks, kegiatan menanam secara bersamaan melakukan kegiatan merusak bumi.
Studi Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization (CSIRO) mengidentifikasi balon menjadi salah satu dari 3 polutan paling berbahaya mengancam satwa liar laut selain kantong plastik dan botol. Kemana balon-balon yang diterbangkan dalam seremonial hari bumi? Tentu akan menjadi sampah yang berakhir mencemari bumi. Ia akan jatuh di sembarang tempat hancur menjadi serpihan-serpihan kecil mencemari tempat dimana ia berakhir.
Balon berasal dari bahan lateks yang susah terurai, sedangkan plastik konfetti ditebarkan ke tanah otomatis menjadi timbulan sampah baru. Saat mencemari sungai atau laut serpihan balon dan plastik ini akan dimakan hewan dan masuk ke dalam usus yang berakibat pada kematian. Sanggar Hijau Indonesia (SHI) menyayangkan kegiatan seremonial massal tidak edukatif pada perayaan Hari Bumi 2025 yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Jombang dan Kemenag. Sebagai pemangku kebijakan harusnya menjadi contoh yang mendidik masyarakat. Apalagi tindakan tidak mendidik dilakukan pada momentum perayaan hari bumi di lingkup lembaga pendidikan.
Kedepan Sanggar Hijau Indonesia menghimbau kepada Pemerintah Kabupaten Jombang tidak melakukan tindakan melepas balon dan jenis kegiatan yang merusak lingkungan dalam seremonial apapun di lingkup pemerintah dan jajarannya. Harusnya sebagai pembuat kebijakan, mengeluarkan kebijakan menjaga lingkungan dan memberikan contoh edukatif pada Masyarakat.
Kemenag harus menjadi garda terdepan membumikan gerakan lingkungan melalui syiar-syiar agama. Harapannya tidak ada lagi gegap gempita acara sholawat, pengajian yang dihadiri ribuan umat, selesai acara sampah pun tertinggal mengotori ruang-ruang publik. Dari sini patut berefleksi, apakah beragama kita sudah kaafah? Apakah kita membaca firman Tuhan hanya sampai tenggorokan? Semoga ini menjadi muhasabah bersama tentang peran manusia sebagai khalifah di bumi.